Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

SEJARAH WARUNG KOPI ASGAR DIBALIK GEROBAK BERKAKI ENAM



Warung kopi Asgar dahulu adalah sebuah nama entitas kecil dari sekelompok orang atau lebih, yang nekat mencari peruntungan di Ibukota Jakarta kala itu. Entitas kecil ini lalu kemudian melegenda dan meleket hingga kini sebagai sebuah kelompok kecil yang terpisah- pisah. Yang kini kita kenal dengan Nama warkop Asgar.

Bukan sebuah nama yang kebetulan, yang pernah tenar dan di Populerkan oleh para pendahulunya dalam sebuah kumpulan lawak komedian indro,dono dan kasino. Melainkan sebuah usaha kecil yang murni di bangun dan dirintis dari kota asal kami Garut.

Dahulukala berdagang kopi bukanlah sebuah Pilihan terbaik dari keluarga, bahkan pada masanya berdagang kopi diangaplah hina, bagaikan kaum marjinal yang tidak bisa bekerja dengan menggunakan pikiran, melainkan hanya bermodalkan tenaga dan semangat. Pada era tahun 80an kelompok kecil pedagang kopi ini menetap berkelompok dalam suatu area yang dibilang strategis, dekat dengan keramain, dan mencari peruntungan dari para pelancong ataupun pemukiman penduduk yang nilai belinya bergantung pada musim. Entah siapa yang memulai pertama kalinya, namun menurut sumber yang valid, pada kurun waktu tahun 1980 an komunitas Pedagang kopi Asal garut ini tersebar di wilayah Garut Utara. Sebut saja Desa Mekarsari, Limbangan. Konon katanya komunitas pedagang kopi ini banyak berasal dari desa tersebut. Banyak dari sebagian mayoritas masyaraktnya mencari peruntungan dengan berjualan, terlepas dari berdagang sebagian kecil masyarakatnya ada yang bertani dan juga berkebun. Namun sebagian kecil dari remajanya yang sudah baliq lebih memilih peruntungan merantau ke ibukota dengan berjualan kopi.

Berdagang pada kurun waktu tahun 80 - 90an adalah sebuah perjuangan terberat bagi sekelompok orang. Karena pada masa itu, banyak mayoritas masyarakat kita tidak mendapat kepastian ekonomi. Banyak anak muda putus sekolah dan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan. Berdagang dan bertani adalah pekerjaan yang tidak memerlukan ijasah pada waktu itu. Bisa menghasilkan rupiah hanya untuk sekedar makan dan memenuhi kebutuhan bahan pokok primer lainnya.

Keluargaku berjumlah 8 Orang, terdiri dari 2 Orang tua dan 6 Orang anak. Keluarga ku adalah satu dari sekian banyak pedagang kopi yang mencari peruntungan di ibukota. Bapaku tak pernah patah semangat untuk membiayai kehidupan kami di Desa. Hanya bermodalkan gerobak usang yang terpajang disudut jalan kala itu. Jalan wacung Bandengan, Jakarta Utara. Saksi warung kopi keluarga kami berdiri tahun 1980. Saat semua orang melewati kehidupan ini dengan jabatannya. Keluarga kami hanya punya yakin untuk tetap hidup. Dahulu tempat ini adalah sebuah asrama militer kostrad, kemudian berubah menjadi sekolahan. Dan Tepi jalan tempat kami memarkirkan gerobak yang dulunya lahan kosong kini berubah menjadi Perusahan Listrik Negara atau orang biasa menyebutnya PLN.

Gerobak kopi berkaki enam kami biasa menyebutnya.
Singkat Cerita kenapa kami menamai gerobak berkaki enam. Waktu kami kecil ketika bosen diam dikontrakan rumah, kami biasa mengunjungi tempat usaha orang tua yang berjualan kopi. Karena waktu kecil kami suka diajarkan budaya malu. Maka dari kejauhan kami mengamati di bawah kaki gerobak itu ada bapa atau tidak. Kalau ada nampak kaki gerobak itu terlihat menjadi enam. Itu menandakan kalau bapa sedang berjaga di warung. Karena pada jaman dulu Loyalitas pedagang kopi itu tidak hanya meramu sajikan kopi di tempat, namun mengantarkan kopi itu kepemesan yang jaraknya lumayan jauh. Jauh dari itu ketika kami kecil aku beserta kakaku ketika hendak main ke warung kopi bapa diusahakan jangan mampir pas jam makan siang tiba karena ditakutkan rame dan malah akan menggangu orang tua ketika berjualan. Maka dari situlah istilah gerobak kopi berkaki enam itu digaungkan. Dahulu tidak ada yang istimewa dari keluarga kami selain penghidupan yang minim pendidikan, ayah yang berlatar pendidikan sekolah Dasar. Dan ibu nyaris tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Namun but is nothing tidak mengapa karena kami punya modal semangat untuk berjuang. Gerobak berkaki enam itu juga bisa diartikan sebagai kaki dari 6 Orang anak. Jadi orang tua kami mempunyai enam orang anak yang tumbuh dan dibiayai dari hasil berjualan kopi. Menafkahi dan memberikan pendidikan yang layak. Dan jika masih ada lebih sisanya ditabung untuk kebutuhan lainnya.

Pedagang kopi dengan berbagi kisah unik lainnya tak ubahnya bagaikan slogan wong cilik jargon yang hadir pada era milenium tahun 2000 an. Dikisahkan kami yang juga mengalami dampak krisis moneter yang juga dialami oleh Pemerintah Indonesia bahkan kan Dunia pada masa itu. Banyak sekali mempengaruhi dampak perubahan kultur. Dahulu kami masih bisa menikmati berjualan ditepi trotoar jalan ibukota sekarang dengan berbagai kebijakan pemerintah lambat laun mengikis semua kebiasaan para pedagang. Semuanya harus ikut aturan kami kalau tidak kami angkut. Celotehan beberapa oknum berbaju coklat yang terdengar lantang ditelinga kami. Terenyuh hati ini mengikis dan menyayat hati menyaksikan orang tua kita berpacu dengan waktu ketika oknum itu datang.Telat sekian detik saja habis sudah penghidupan dari gerobak ini terjaring rajia mereka. Lagu siapa suruh datang jakarta yang sempet populer pada waktu itu cukup menggambarkan Jakarta era dulu dan sekarang kita alami sambil sesekali berurai air mata. ( Hehehe Lebay ) namun satu yang berkesan dari masyarakat urban ini ketika pulang ke kampung halaman mereka taunya kita itu senang aja..... Menarik bukan.

Pada jaman dulu hampir semua urusan diselesaikan di warung kopi. Perjudian, perundingan, perkelahian, percintaan, masalah piutang, penggrebekan, peredaran narkoba, perampokan disertai hipnotis, dan hal lainnya pernah kami alami. Bahkan yang menyatakan cinta, ide - ide liar ataupun Mahasiswa yang sedang menyelesaikan Tugas akhir sampai lulus mencari inspirasi lahir di Warung Kopi. Sebelum menjamurnya warung kopi dengan berbagai teknik kopi maker nyatanya dahulu warung pinggir jalan jauh lebih mewah. Semua urusan, semua golongan, dan semua orang dengan kalangan berbeda pasti curhatnya di warung kopi. Segelas kopi mampu merubah setiap peluh jadi kisah.

Dewasa ini tanpa disadari semua yang kami alami selalu menjadi Guru terbaik untuk sebuah pengalaman. Dahulu usaha ini bukan sebuah jaminan untuk masa depan, bahkan remaja yang beranjak dewasa tidak layak mendapatkan cinta dari anak seorang Pegawai Negeri atau tingkatan sosial lainnya jika melihat latar belakang keluarganya seorang pedagang kopi atau bahasa tak lajimnya tukang kopi.

Warung kopi yang kami tulis dan kami kisahkan adalah warung kopi legendaris, orang lain biasa menyebutnya warung kopi jangkung sebuah nama akronin yang disematkan hampir 40 tahun yang lalu.
Dibalik itu saya ingin menceritakan pesan dalam sebuah tulisan ini, 

mau seperti apapun kalian hidup, hiduplah sebagai manusia biasa. Jangan malu dari mana kalian berasal.

Saya menulis sebagai acun untuk kami tetap  bisa mengenang masa masa itu. Waktu kami kecil kami beruntung masih bisa melalui serta mengingat sedikit dari sekian banyak peristiwa.

Terimakasih kepada orang tuaku berkat kalian kami masih bisa tetap tangguh walau dengan kesederhanaan. Tetap prihatin walau semuanya  telah serba ada. Dan tetap bijaksana dengan semuanya keterbatasan .

Lanjutannya masih dalam proses.. 


Penulis : A/D

Posting Komentar untuk "SEJARAH WARUNG KOPI ASGAR DIBALIK GEROBAK BERKAKI ENAM"